Perjaka Tuli
Jalan2 ke rumah pakdhe di desa.
Mengenang kisah masa kecil.
Beberapa hari yang lalu, pakdhe saya mengeluh tidak enak badan dan meminta saya datang ke rumahnya untuk memeriksa keadaannya.
Dan berangkatlah saya ke sana dengan perlengkapan tempur saya.
Berhubung rumahnya pakdhe itu (agak) terpencil dan pelosok, jadi untuk menghindari hal2 yg tidak diinginkan, saya minta diantar sama bapak. Haha...
Rumahnya pakdhe itu di bawah gunung.
Waktu kecil dulu saya sering nangis minta dianter naik ke puncak gunungnya itu.
*eh, kok jadi curhat.
Jalannya masih beraspal |
Ada gunungnya. :D |
Mulai lewat jalan berbatu |
Dinding bambu |
Semakin mendekati gunung |
Nah ini dia rumahnya pakdhe.. :D |
Bonus: sapinya pakdhe narsis |
Sebenarnya tujuan saya bikin postingan ini adalah untuk menceritakan legenda gunung joko budeg yang ada di daerahnya pakdhe saya itu... Hehe..
Ini jalan yang saya lewati menuju rumah pakdhe..
Ini sisi sebelah kanan saya (tolong abaikan poster di pohon).
Ini sebelah kiri saya.
Yang saya beri tanda panah itu adalah si mas joko yang akan saya ceritakan.
Ini kalo diperbesar |
Lebih diperbesar lagi (semakin abstrak) |
Gunung ini terletak di Campurdarat, Tulungagung.
Joko budeg, kalau dibahasa indonesiakan perjaka tuli.
Ada banyak versi cerita mengenai mas Joko ini.
Versi 1.
Menurut cerita yang saya dengar dari ibu saya waktu saya masih kecil
Setelah berkata seperti itu, si Joko berubah menjadi batu. Kalau dilihat dari kejauhan, memang tampak seperti seorang yang duduk di bawah pohon sambil memakai capil. Capil itu topi khasnya petani dari anyaman bambu.
Ini mungkin versi yang dibuat2 oleh ibu saya sendiri agar saya g jadi anak bandel. Soalnya dulu waktu masih kecil, sepulang sekolah suka main2 terus sama anak2 tetangga, sampai kadang harus dijemput agar mau pulang. Hehehe...
Versi 2.
Menurut cerita yang diambil dari
babad Kabupaten Tulungagung di Bethak, Bedalem
Untuk menghindari Adipati Kalang, Rara Ringgit bersembunyi di rumah seorang Janda. Pada waktu itu janda pemilik rumah tak berada di rumah. Yang ada disana hanyalah anak semata wayangnya yang bernama Jaka Bodho. Rupanya paras ayu nan elok Rara Ringgit membuat Jaka Bodho terpesona hingga ia mengutarakan keinginannya untuk menjadikan Rara Ringgit istrinya.
Rara Ringgit termasuk sosok yang bijaksana. Meskipun dalam hati menolak namun ia tak ingin menyakiti Jaka Bodho. Maka ia mencari-cari cara terhalus untuk menghindari Jaka Bodho. Rara Ringgit akhirnya memberi persyaratan pada Jaka Bodho bahwa dia bersedia jadi istri dan melayaninya asal Jaka Bodho mampu berpuasa bisu selama 40 hari. Ternyata persayaratan tersebut disetujui oleh Jaka Bodho.
Jaka Bodho akhirnya menjalani lelaku puasa bisu sebagai persyaratan yang diajukan oleh Rara Ringgit. Suatu hari saat sedang menjalani puasa bisu, ibunya kembali. Dia menyapa anak semata wayangnya berkali-kali namun tak sepatah katapun keluar dari mulut Jaka Bodho. Akhirnya ibu itu merasa sakit hati dengan tingkah laku anaknya tersebut dan tanpa diduga ia mengeluarkan perkataan ”anak ditanya orang tua kok bisu, kaya batu saja".
Dari perkataan ibunya itu tiba-tiba Jaka Bodho berubah menjadi batu. Ibunya menyesali ucapannya yang ternyata menjadi kenyataan itu, namun nasi telah menjadi bubur. Untuk menghilangkan penyelasalannya maka batu itu dipindahkan keatas gunung yang sekarang disebut sebagai gunung budheg (tuli). Dan ada pula yang menyebut gunung cikrak karena bentuk batu tersebut menyerupai cikrak (alat untuk membuang sampah). -dari blognya mas ICE THE GUNE-
Versi 3.
Menurut cerita para tetua di Kabupaten Tulungagung
Tapi keinginan Joko Budeg yang berlebihan ini tidak mendapat tanggapan dari Kembang Sore, karena Kembangsore berpendapat bahwa Joko Budeg bukanlah pasangan yang setimpal untuk dirinya. Sebagai lelaki Joko Budeg tidak pernah surut keinginannya untuk mempersunting wanita idamannya, berbagai cara sudah dilakukan agar keinginannya bisa terwujud.
Lama kelamaan hati Kembangsore yang keras bagaikan batu, luluh oleh keseriusan Joko Budeg mendekati dirinya. Tetapi tentu saja keinginan ini tidak serta merta diterima begitu saja oleh Kembangsore. Roro Kembangsore mau menerima lamaran Joko Budeg dengan persyaratan asalkan Joko Budeg mau bertapa 40 hari 40 malam di sebuah bukit, beralaskan batu dan memakai tutup kepala “cikrak” (alat untuk membuang sampah di Tulungagung) sambil menghadap ke Lautan Kidul. Joko Budeg menerima persyaratan ini, dan melaksanakan apa yag diminta oleh Roro Kembangsore.
Setelah waktu berlalu sesuai yang dijanjikan, Roro Kembangsore berharap Joko Budeg datang untuk memenuhi janjinya. Setelah ditunggu 1 hari 1 malam, ternyata Joko Budeg tidak muncul juga, Kembangsore mulai cemas karena sebenarnya di hati Kembangsore juga tumbuh rasa cinta kepada Joko Budeg. Seketika itu juga Kembangsore mendatangi bukit dimana Joko Budeg bertapa. Sesampai disana masih Nampak Joko Budeg dengan khusyuknya bertapa.
Kasihan melihat keaadaan itu, Kembangsore membangunkan Joko Budeg dari bertapanya. Setelah cukup lama usaha Kembangsore untuk membangunkan Joko Budeg tidak membawa hasil, akhirnya Kembangsore jengkel, dan keluar kata-kata yang cukup keras "ditangekke kok mung jegideg wae, koyo watu" (bahasa jawa Tulungagungan, dibangunkan kok tidak bangun-bangun, seperti batu).
Seketika itu terjadi keajaiban alam, Joko Budeg berubah wujudnya menjadi batu. Saat ini bukit tempat Joko Budeg bertapa dikenal dengan nama 'Gunung Budeg' dan patung Joko Budeg bertapa masih untuh sampai sekarang.
Roro Kembangsore, dengan penyesalan yang dalam kembali ke kediamannya dan bersumpah tidak akan menikah dengan orang lain selain Joko Budeg. Roro Kembangsore akhirnya bertapa di satu tempat, sampai meninggal dan dikuburkan di situ. Saat ini tempat pemakaman Kembangsore dikenal sebagai Pemakaman Gunung Bolo yang sangat terkenal (Di Kauman, Tulungagung). -dari blognya mas Arief Kas-
Silahkan dipilih versi mana menurut anda yg benar. Atau ada versi lain yang saya belum tahu?
Hehehe..
note: bagaimanapun asal-usul ceritanya..kita harus tetap melestarikan budaya kita sehingga anak cucu kita kelak juga bisa menikmatinya.
Komentar
Posting Komentar